2 Teori dan praktek

2/14/20252 min read

worm's-eye view photography of concrete building
worm's-eye view photography of concrete building

2 Teori dan praktek

Mengapa berteori?

Guru bahasa sering kali menganggap diri mereka sebagai praktisi daripada teoretisi. Beberapa bahkan menunjukkan sikap penolakan terhadap teori, dengan menyatakan bahwa teori hanya ideal secara konsep tetapi tidak dapat diterapkan dalam praktik. Mereka berpendapat bahwa meskipun para ahli teori menyarankan untuk menghindari penerjemahan, tidak menjelaskan aturan tata bahasa, atau tidak menyoroti kata-kata tertentu, pengalaman di kelas membuktikan bahwa strategi-strategi tersebut tetap diperlukan. Dalam konteks ini, teori dipandang sebagai gagasan yang sulit diwujudkan atau kumpulan prinsip yang tidak sesuai dengan realitas pengajaran sehari-hari.

Para ahli dalam bidang pedagogi bahasa menyadari adanya kesenjangan antara teori dan praktik, sehingga mereka berupaya menghubungkan keduanya. Upaya ini tercermin dalam karya seperti Developing Second-Language Skills: Theory to Practice (1976) oleh Chastain. Secara umum, teori dalam pengajaran bahasa merujuk pada sumbangan dari disiplin ilmu terkait, terutama linguistik dan psikologi. Oleh karena itu, teori sering kali dipahami sebagai teori linguistik atau teori psikologi/pembelajaran. Namun, perkembangan berkelanjutan dalam ilmu bahasa justru semakin memperjelas perbedaan antara teori dan praktik, alih-alih menyatukannya. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai teori pengajaran bahasa juga harus mempertimbangkan tantangan ini.

Dalam buku ini, konsep ‘teori’ tidak hanya terbatas pada definisi formal seperti ‘teori linguistik’, ‘teori pembelajaran’, ‘teori audiolingual’, atau ‘teori kognitif’, tetapi juga mencakup pemikiran mendasar yang menjadi dasar dalam pengajaran bahasa. Teori juga tercermin dalam praktik sehari-hari, mulai dari penyusunan kurikulum, rutinitas kelas, penilaian efektivitas pengajaran, hingga pengambilan keputusan oleh guru bahasa.

Permasalahan mengenai teori pengajaran bahasa yang belum memadai telah lama diangkat dalam literatur. Pada tahun 1964, psikolog J. B. Carroll dalam konferensi internasional di Berlin menekankan bahwa yang lebih dibutuhkan bukan sekadar penelitian, melainkan pemikiran ulang terhadap teori pengajaran bahasa asing yang disesuaikan dengan perkembangan dalam psikologi dan psikolinguistik. Beberapa tahun kemudian, ia mengkritik adanya berbagai perbedaan pendapat dan ketidaksepakatan yang membingungkan dalam bidang ini. Ia menyatakan bahwa banyak dikotomi yang tidak tepat, pertentangan yang tidak relevan, konsep yang lemah, serta pengabaian terhadap faktor-faktor yang sebenarnya sangat penting.

Dalam perkembangannya, telah banyak penelitian yang dilakukan, tetapi teori pemerolehan bahasa kedua yang benar-benar menyeluruh masih belum sepenuhnya terbentuk. Brown (1980) menegaskan bahwa meskipun berbagai penelitian dalam satu dekade terakhir mulai membentuk kerangka umum teori, masih diperlukan lebih banyak observasi dan masukan agar teori yang utuh dan terintegrasi dapat tercapai.

Guru bahasa sering kali menganggap diri mereka sebagai praktisi, bukan teoretisi, dan terkadang menolak teori karena dianggap tidak dapat diterapkan dalam praktik. Namun, para penulis pedagogi bahasa menyadari adanya kesenjangan antara teori dan praktik serta berupaya menjembataninya. Teori dalam pengajaran bahasa sering kali berasal dari linguistik dan psikologi, tetapi perubahan dalam ilmu bahasa justru semakin memperlebar kesenjangan tersebut.

Teori tidak hanya berupa konsep akademis tetapi juga tersirat dalam praktik sehari-hari guru, seperti dalam perencanaan kurikulum dan strategi pengajaran. Meskipun banyak penelitian telah dilakukan, teori yang lengkap tentang pemerolehan bahasa kedua masih dalam proses pengembangan. Para ahli, seperti J.B. Carroll dan Brown, menyoroti perlunya pemikiran ulang yang lebih dalam serta integrasi teori yang lebih kuat dalam pengajaran bahasa.